Kamis, 06 Oktober 2016

HANYA TIGA HARI



Kehidupan dunia ini hanyalah kehidupan yang sebentar saja. Dia merupakan ladang untuk beramal sholih, demi mempersiapkan bekal menuju hari perjumpaan Allah Robbul alamin. Di hari itu, Allah akan memutuskan dan menuntaskan urusan para hamba-Nya di Padang Mahsyar dalam waktu panjang. Setiap orang akan menerima hisab (perhitungan) dari amalannya. Selanjutnya, setiap orang akan berjalan sesuai dengan catatan amalnya. Jika ia pemilik catatan yang baik, maka bersegeralah ia menuju kampung kebahagiaan, yaitu surga. Tapi jika ia adalah seseorang pemilik catatan buruk, maka ia dengan segala penyesalannya akan menuju kampung kesengsaraan, yakni neraka.
Waktu yang kita lalui seyogyanya menjadi kesempatan dan ladang bagi seorang mukmin dalam memperbanyak bekal amal sholih dan ketaatan, sebelum datangnya waktu yang tidak lagi berguna baginya penyesalan.
Allah –Azza wa Jalla– berfirman,
“Waspadailah suatu hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”.
Perjalanan panjang menuju Allah –Azza wa Jalla – amat membutuhkan bekal, kesabaran, nasihat dari seorang ulama yang paham tentang hakikat dunia. Oleh karenanya, perlu kami nukilkan nasihat mulia dari seorang ulama tabi’in yang tersohor, Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri –rahimahullah – kepada seorang pemimpin negara saat itu yang bernama Umar bin Abdul Aziz –rahimahullah -. Nasehat yang begitu mendalam yang bertaburan wasiat-wasiat yang agung di dalamnya. Setiap kalimat yang terucap, sarat dengan mutiara hikmah yang sanggup mencairkan setiap hati yang keras dan pikiran yang beku. Betapa tidak, didalamnya terkandung kata-kata bijak yang sanggup menyentuh lubuk hati yang paling dalam.
Nasehat di bawah ini merupakan potongan nasehat dari surat yang ia kirimkan kepada Khalifah tentang hakekat waktu. Disebabkan karena keterbatasan ruang, membuat kami mengambil sebahagian saja, dengan harapan kita bisa mengambil ibrah dan pelajaran dari nasehat tersebut. Adapun isi nasehatnya adalah sebagai berikut,
Jika kamu berpikir, dunia tidak lebih dari tiga hari, yaitu: hari yang telah berlalu, yang tidak mungkin kamu harapkan kembali. Hari dimana kamu sekarang berada, maka selayaknya kamu memanfaatkannya sebaik-sebaiknya, dan hari yang kamu tidak tahu, apakah kamu termasuk yang mengalaminya ataukah tidak? Kamu tidak tahu, apakah kamu akan mati sebelumnya?.
Hari yang telah lalu, adalah hari yang bijaksana dan memberi pelajaran, sedangkan hari ini adalah kawan yang segera mengucapkan selamat tinggal. Hari kemarin, meskipun menyedihkanmu, tetapi ia masih menyisakan pelajaran yang bijaksana di tanganmu. Jika dahulu kamu menyia-nyiakannya, maka sekarang telah datang penggantinya, dimana sekian lama ia tidak berjumpa denganmu dan sekarang ia segera meninggalkanmu.
Sedangkan hari esok, harapannya ada ditanganmu pula, maka ambillah kepastian dengan melakukan amal dan tinggalkan ketertipuan dirimu dengan angan-angan sebelum saat yang ditentukan tiba. Janganlah kamu memasukkan kekhawatiran terhadap hari esok, atau setelahnya kedalam hari ini, sehingga manambah kesedihan dan kepayahanmu, dimana kamu ingin agar pada hari ini kamu menghimpun segala yang mencukupimu selama hari-harimu yang lain. Kesibukan semakin banyak, kepayahan semakin bertambah, dan hamba telah menyia-nyiakan amal dengan angan-angan.
Jika harapanmu terhadap hari esok benar-benar keluar dari hati, niscaya pada hari ini kamu melaksanakan amal yang sebaik-baiknya dan mengurangi kesedihanmu. Tetapi, harapanmu pada hari esok ternyata menjadikanmu ceroboh dan mengajakmu untuk semakin menjadi-jadi dalam mengejarnya.
Jika kamu mau mempersingkat, saya akan menggambarkan dunia ini kepadamu sebagai suatu saat yang berada diantara dua saat. Saat yang telah lalu, saat yang akan datang, dan saat dimana kamu sekarang berada.
Adapun saat yang lalu dan akan datang, tidak akan kamu temukan kenikmatan dalam kesenangannya atau kepedihan dalam deritanya. Dunia hanyalah sesaat dimana kamu berada, lantas saat tersebut menipumu sehingga menjauhkanmu dari surga dan membawamu ke neraka.
Jika kamu berpikir, sebenarnya hari tidaklah lebih dari seorang tamu yang mampir ke rumahmu dan dia segera pergi meninggalkanmu. Jika kamu memberi sambutan dan jamuan yang baik, ia akan menjadi saksi bagimu, memuji perbuatanmu, dan akan mencintaimu dengan tulus. Tetapi jika sambutanmu buruk dan kamu tidak menjamunya dengan baik, maka hal itu akan terus terbayang di pelupuk matamu.
Hari juga ada dua, yang kedudukannya ibarat dua bersaudara. Salah satu dari keduanya datang kepadamu, lantas kamu menyambutnya dengan buruk dan tidak memberi jamuan yang baik kepadanya. Lantas, yang lain datang kepadamu seraya berkata:”Aku datang setelah kedatangan saudaraku, maka kebaikanmu kepadaku akan menghapuskan keburukan sikapmu terhadap saudaraku dan ia akan memaafkan tindakanmu. Inilah aku, datang kepadamu setelah kedatangan saudaraku yang telah meninggalkanmu.” Kamu telah mendapatkan penggantinya, jika kamu berakal, maka perbaikilah apa yang telah kamu sia-siakan. Tetapi jika kamu bersikap sama sebagaimana sikap yang pertama, maka sungguh patut jika kamu binasa oleh kesaksian buruk mereka berdua terhadapmu.
Umur yang tersisa tidak bisa ditukar dengan harga atau tebusan apa saja. Andaikata seluruh dunia dikumpulkan, maka ia tidak akan sebanding dengan umur seseorang yang tersisa. Maka, janganlah kamu menjual atau menukarnya dengan dunia yang tidak sesuai dengan harganya. Jangan sampai orang yang dikubur lebih menghargai apa yang berada di tanganmu daripada kamu sendiri, padahal itu milikmu. Sungguh, andaikata seorang yang terkubur di dalam tanah ditanya, ”Apakah dunia ini –secara keseluruhan dari awal sampai akhir, yang akan kamu berikan kepada anak-anakmu sepeninggalmu agar mereka menikmatinya, sementara kamu dulu tidak pernah mempunyai kekhawatiran selain tentang mereka, lebih kamu cintai ataukah satu hari dimana kamu dibiarkan hidup untuk melakukan amalan shalih bagi dirimu?”, niscaya ia memilih satu hari tersebut. Tidak mungkin ia dihadapkan pada suatu pilihan dengan satu hari sebagai pilihan lain, kecuali ia lebih memilih satu hari daripada pilihan lain itu, karena besarnya keinginan dan penghargaannya kepadanya.
Bahkan, andaikata ia diberi pilihan antara sesaat dengan pilihan lain yang berlipat-lipat dari apa yang telah saya sebutkan kepadamu dan berlipat-lipat lagi, niscaya ia lebih memilih waktu sesaat itu untuk dirinya daripada pilihan lain yang berlipat-lipat dari itu.
Bahkan, andaikata ia disuruh memilih antara satu kata yang diucapkannya, yang akan ditulis kebaikannya untuk dirinya dengan apa yang telah saya ceritakan kepada kamu (yakni, kenikmatan dunia) dan yang nilainya berlipat-lipat darinya, niscaya ia lebih memilih satu ucapan tersebut daripadanya.
Maka, koreksilah dirimu pada hari ini, perhatikanlah setiap saat yang berlalu, hargailah satu kata, dan waspadailah terhadap penyesalan ketika sakratul maut datang. Kamu tidak bisa mengabaikan perkataan ini sebagai hujjah bagimu, maka semoga Allah memberikan manfaat kepada kami dan kepada kamu dengan pelajaran ini serta mengaruniakan akhir kehidupan yang baik kepada kita semua. Wassalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh”. [HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah
(2/134-140)]
Demikianlah nasehat yang agung ini kami haturkan dihadapan para pembaca, agar ia bisa menjadi hentakan bagi jiwa kita yang lalai dan menyadarkan kita tentang pentingnya memanfaatkan waktu dengan baik. Ketahuilah, ketika kita menyia-nyiakan waktu sedetik saja dari perjalanan usia kita, sebenarnya ada kerugian dan penyesalan besar yang akan kita temui kelak ketika bertemu Allah –Azza wa Jalla -.
Allah –Ta’ala – telah bersumpah tentang hal ini di dalam firman-Nya,
“Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan Aku bersumpah demi jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” . (Qs : Al-Qiyamah: 1-2).
Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’diy –
rahimahullah – berkata, ”Maksudnya, seluruh jiwa, baik yang sholeh, maupun yang bejat. Dinamakan (ﻟَﻮَّﺍﻣَﺔ ) karena besarnya kebimbangan dan penyesalan jiwanya, dan tidak tetapnya jiwa pada satu kondisi. Sehingga ketika meninggal, jiwa tersebut menyesal atas apa yang telah ia kerjakan. Bahkan jiwa seorang mukmin akan menyesali atas apa yang ia telah peroleh ketika di dunia berupa sikap pelampauan batas (berlebih-lebihan), atau melakukan kekurangan atau kelalaian dalam memenuhi hak diantara hak-hak yang ada. [Lihat Taisir karimir Rahman , (hal. 898)].
Janganlah angan-angan kosong yang dihembuskan oleh setan, membuat kita terlena sehingga menjadi penghalang dari beramal shalih dan selalu menunda-nundanya. Sebab, itu merupakan tanda kebinasaan yang telah dikecam oleh Allah –Azza Wa Jalla – . Allah -Ta’ala- berfirman,
“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang, dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)”. (Qs. Al-Hijr: 3).
Ketahuilah, tidak ada seorang pun diantara manusia yang bisa menjamin bahwa dirinya masih bisa hidup sedetik kemudian atau tidak. Oleh karena itu, sangatlah pantas bagi kita untuk merenungi wasiat Ibnu Umar -radhiyallahu anhu- , ketika Rasulullah –
Shollallahu alaihi wa sallam – bersabda kepadanya,
ﻛُﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻛََﺄَﻧَّﻚَ ﻏَﺮِﻳْﺐٌ ﺃَﻭْ ﻋَﺎﺑِﺮُ ﺳَﺒِﻴْﻞٍٍ
“Jadilah di dunia ini seperti orang asing atau seorang pengembara.”
Ibnu umar berkata, “Jika kamu berada di waktu sore, maka jangan menunggu sampai pagi, dan jika kamu berada di waktu pagi, jangan menunggu sampai waktu sore. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu dan manfaatkan hidupmu sebelum datang matimu.” [HR. Al-Bukhariy dalam
Kitab Ar-Riqoq (no. 6416)].
Manfaatkanlah umur yang diberikan untuk taat kepada Rabbmu. Janganlah hatimu terpaut kepada dunia yang sedikit lagi hina, sehingga usiamu habis untuk mengejarnya. Tengoklah para salaf-mu yang shalih (para sahabat -radhiyallahu anhum-) dimana cita-cita mereka sangat tinggi yaitu negri akhirat. Mereka tidak bertanya kecuali tentang surga, dan tidaklah menginginkan kecuali surga, sehingga mereka tidak menggunakan waktunya kecuali pada perkara yang diridhai oleh Allah –Tabaaraka Wa Ta’ala – . Mereka mampu menahan berbagai penyakit, rasa lapar, halangan, rintangan, dan meninggalkan tanah air serta orang- orang yang dicintai. Mereka menghadapi orang-orang kafir dengan pedang-pedang mereka, dan hal-hal selain itu untuk mencari pahala dan surga.
Adapun orang-orang yang tertipu oleh dunia adalah orang yang merasa cukup dan takjub dengan gemerlapnya dunia. Mereka diberi rezki berupa kesehatan dan kelapangan waktu oleh Allah –
Subhanahu wa Ta’ala – , namun ia tidak menggunakannya untuk melakukan sesuatu yang berguna baginya. Karenanya, Rasulullah –Shollallahu alaihi wa sallam – mengingatkan,
ﻧِﻌْﻤَﺘَﺎﻥِ ﻣَﻐْﺒُﻮﻥٌ ﻓِﻴﻬِﻤَﺎ ﻛَﺜِﻴﺮٌ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺍﻟﺼِّﺤَّﺔُ ﻭَﺍﻟْﻔَﺮَﺍﻍُ
“Dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu di dalamnya : kesehatan, dan waktu luang” . [HR. Al-Bukhariy dalam Kitab Ar-Riqoq (no. 6412)]
Alangkah baiknya seorang penyair yang berkata,
Umur itu lebih singkat waktunya
Daripada disia-siakan di dalam hitungan
Raihlah keuntungan-keuntungan di dalamnya
Karena dia berjalan sebagaimana berlalunya awan




Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar